Masih Berjalan


Hari hari ini masih berjalan tanpa henti. Ia tak menunggumu siap, barang sedetik. Maka barangsiapa telah bersiap sebelum hari yang lebih menyibukkan lagi, ialah orang yang beruntung.

Kira-kira 2 bulan terakhir, banyak sekali peristiwa yang aku alami. Peristiwa duka ataupun suka. Rutinitas yang aku bangun di awal tahun, kini hanya tersisa sebagian, atau bahkan sedikit saja. Semua banyak berubah.

Awal September lalu, diri ini memulai perjalanan meletihkan itu, tidur yang hanya 3-4 jam sehari. Berhadapan dengan hardware dan tumpukan laporan yang harus usai pekan ke-2. Tak, aku tak merasa terbebani sangat dengan itu. Aku merasa itu tanggung jawab. Setelah akhir Agustus lalu aku meminta izin kepada kedua orangtuaku untuk menunda pulang, walau sebenarnya waktu itu Bapak sedang sakit.

Alhamdulillah akhir September lelah, letih itu terbayar. 25 September 2017 aku lulus bersyarat. Sepekan adalah target untuk revisian. Bapak kala itu masih menungguku, menyelesaikan urusanku. Seminggu lebih sehari semua beres! Awal Oktober aku mulai kehidupan baru, status yang tak jelas, sang penunggu wisuda.

Kehidupan di rumah aku habiskan masih dengan rutinitas yang tak segera aku susun ulang. Aku terlanjur untuk menjadi tak produktif. Sepekan-dua pekan setelah aku di rumah, mulai panggilan untuk tes kerja datang di kotak masuk. Dengan berat hati, Bapak mengizinkanku.

Awal November lalu, setelah beberapa kota aku sambangi untuk mencari kehidupan selanjutnya, 8 hari sebelum aku officially lulus, ternyata Bapak sudah mendahului “wisuda”ku.


Qadarullah wa maa syafa ‘ala. Baru kali itu Bapak bilang bahwa ia kesakitan. 21 tahun hidupku, ia baru bilang sakit sekali.

Masih lekat di ingatanku, Ibu mendikte Bapak yang terbaring kala itu dengan buku Zikir Pagi-Petang yang dibawa dari rumah. Perlahan Ibu baca, lalu Bapak menirukannya. Setelah teks arab usai, teks terjemah Ibu dikte-kan pula. “Kalau mbaca harus juga dengan hati,” katanya. Dan Aku? Ada rasa tak tega… aku menyeka air mata yang hampir jatuh, sembari keluar kamar peristirahatan yang aku yakin Bapak lebih nyaman disini daripada dirumah. Aku mengerti, sangat mengerti itu.

Beberapa hari kemudian, masih juga ingat ketika Ibu tak bisa membendung air matanya ketika dokter bedah berkata harus membersihkan infeksi yang ada. “Bukan, bukan amputasi,” kata dokter menenangkan. Namun air mata itu justru semakin deras.

Atau ketika mereka berdua tertawa lepas bersama. Atau ketika aku mulai kelelahan, yang tampak dari raut wajahku, ibu mulai memijit kakiku, seperti biasa. Dan dengan perlakuan yang masih sama seperti aku kecil. Iya, semua orang yang ada di sekelilingmu akan berubah dan meninggalkanmu, kecuali ibumu…

Banyak ilmu kehidupan yang mostly aku dapat diluar kelas. Pelajaran hidup yang amat sayang jika tak aku tulis ulang. Ternyata tulisan itu adalah nasehat bagi diri kita di masa depan, bahwa engkau pernah menulis ini dan kadang sebagai pengingat mu kala kau salah.

Hari-hari yang berlalu, orang-orang yang silih berganti menjenguk Bapak. Ada momen tersadarkan ketika diri ini ternyata masih merasa tinggi hati. Ketika banyak orang-orang yang aku remehkan justru memberi tamparan dalam hidupku. Sebut saja pak Agus yang dengan tenang menasehati bapak, bahwa sakit dan panas Bapak itu akan menghilangkan dosa. Tak sedikit pula yang memperhatikan kesehatan aku dan Ibuku, jangan sampai lalai, dan menyemangati kita untuk terus berdoa dan sabar. Kadang justru orang-orang yang tak terduga yang menyemangati kita pada kehidupan akhirat.

Dan terakhir, aku sungguh rindu tatkala aku dirumah, dan motor Ibu pulang, seketika Raihan memekik “Ibuuuu. Bawa apa???” dan kita berkumpul sekeluarga, siang hingga sore menjelang. Sayangnya, qadarullah, suara motor itu mungkin masih ada, namun dengan suasana yang berbeda…


Maafkan aku yang tak pandai menuliskan runtut cerita, aku hanya ingin, ketika beberapa bulan atau tahun kedepan diberi kesempatan Allah untuk hidup, aku membaca postingan ini. Dan aku telah bertekad terhadap apa yang aku tekadkan, dan berjanji untuk apa yang aku janjikan.

Iya, aku masih berjalan. Usai sudah kehidupan perkuliahan, bukan saatnya terlena sekarang. Aku masih berjalan keluar dari terowongan gelap tanpa irama hidup. Bismillah untuk hari-hari kedepan yang pasti akan jauh lebih melelahkan dari sebelumnya. Semangat!

Tinggalkan komentar