Developing Independent Energy Village using Local Renewable Energy Sources (LRES) to Reduce Indonesian Electrification Ratio Gap

Indonesia is the largest country in Southeast Asia with population of 237.6 million (BPS, 2010), consisting of 17,504 islands and diverse landscape makes Indonesia one of country that need special handle energy supply. According to BPS, Indonesia’s electrification ratio in 2014 only about 84.4%. Thats still far from 100% Indonesian electrification target in 2019. Unbalance between regions electrification is another issue that unresolved. In 2013, the city electrification ratio reached 94%, whereas only 32% on village (Bappenas, 2013). One of the impacts is massive urbanization, causing more dense cities in Indonesia. Solution that could be implemented by the government to solve all of that problem is the empowerment of the rural areas as well as leading, outermost and disadvantaged regions into Independent Eenergy Village using Local Renewable Energy Sources..

LRES chosen because it has several advantages than centralized power plants such as doesn’t cause pollution, reducing transmission costs, and low operational cost. Abundant source of energy is huge potential for each region which has varies characteristics of energy. Nusa Tenggara with wind speeds up to 12 m/s, Sulawesi with the hilly land filled with hydro potentials, Kalimantan with much radiation of the sun dan Bioenergy potentials, e.t.c.

To build Independent Energy Village, the first step is feasibility study to LRES. Energy that potential to developed in rural areas are Hydro Energy (75,000) MW, Solar Cell (4.8 kWh/m2/day), Wind Energy (3-6 m/s), and Bioenergy (ESDM, 2014). These potentials will need to be discussed with the local society. One of the leaders in driving economic IBEKA village, Tri Mumpuni said that energy supply is just a tool, not an end. Later, the energy will be managed by the village for local developing society, makes them better and prosperous.

Government plays important role to determine the policies of the local energy power plant. One of the regulations that need to be regulated is the duty exemption of renewable energy equipment in order to reduce the cost installation. Another policy is the ease of access to investor to invest their money on this project also fixed feed in tariff policies from interconnection system local power plant to PLN.

Independent Eenergy Village essentially can run entirely if supported by all Indonesian people. Government as policy makers, PLN as a technical support, Local society as operator of Independent Energy Village, Investor as funds for construction and young man who acted as innovator of renewable energy movement. Independent Energy Village construction is one solution to consider to reduce the use of fossil energy, balancing urban and rural electrification ratio and realize the fulfillment of renewable energy in the energy mix in 2025 by 23%.

Tak Terbarukannya Energi Terbarukan

Indonesia, negara yang diciptakan Tuhan dengan tersenyum. Negara yang memiliki Sumber Daya Alam melimpah tersebar dari Sabang sampai Merauke, Timor sampai Talaud. Senyum sang bumi melihat kekayaan alam Indonesia: Menatap birunya lautan dari ujung aceh, melihat megahnya gunung-gunung di tanah jawa hingga merasakan hembusan angin di Pantai Kuta. Besar harapan bumi menggantungkan hidupnya kepada Indonesia.

Namun sayang, semakin maraknya eksploitasi alam secara besar-besaran tanpa memikirkan dampak bagi lingkungan, masih digunakannya fosil untuk memasok kebutuhan energi, mendiamkan banyak potensi energi terbarukan membuat bumi mengerenyitkan dahi melihat kenyataan-kenyataan tersebut.

Energi di Indonesia

Tak bisa dipungkiri, untuk pemenuhan energi dan target elektrifikasi Indonesia tahun 2020, Pemerintah perlu melakukan pengadaan bahan bakar fosil untuk menghasilkan energi. Namun kebijakan tersebut merupakan solusi yang kurang bijak mengingat ketersediaan bahan bakar fosil di Indonesia semakin menipis.

Menurut statistik, konsumsi energi di Indonesia meningkat 7% setiap tahun. Sekitar 87% dari seluruh sumber energi di Indonesia berasal dari sumber energi tak terbarukan. Hal ini tentu menjadi masalah besar Indonesia untuk menyelamatkan bumi dari kelangkaan energi yang kabarnya pada 70 tahun mendatang, bahan bakar dan fosil di Indonesia akan habis. Dari hal tersebut, Indonesia dituntut untuk mengoptimalkan energi terbarukan yang ada.

Potensi Energi Terbarukan

Sekarang, mari kita tengok potensi energi terbarukan di Indonesia: Air, panas bumi, angin, dan matahari. Potensi tersebut tentu menjadi harta besar Indonesia jika kita bisa mengoptimalkannya.

Di seluruh Indonesia, potensi PLTA sekitar 75.670 MW, dan baru dimanfaatkan 5.940 MW. Sama halnya dengan panas bumi Indonesia yang memiliki potensi 29.215 MW namun baru digunakan sekitar 1.281 MW. Potensi Angin yang besar, namun baru menghasilkan energi kurang dari 5 MW. Serta potensi tenaga surya yang baru dimanfaatkan kurang dari 20 MW. Tentu kita miris melihat statistik tersebut. Disini, peran pemerintah sangat penting untuk mengubah Indonesia menjadi negara yang renewable-oriented.

Peran Pemerintah dan Pemuda

Pemerintah sudah selayaknya membuka mata terhadap masalah utama yang ada di Indonesia: Krisis energi. Pemerintah perlu mengkaji grand plan mengenai green energy yang di dalamnya  mencakup energi terbarukan. Undang-Undang minerba dan kontrak dengan perusahaan asing selayaknya dikaji ulang. Hal ini harus dilakukan agar eksploitasi terhadap alam dapat diminimalisir dan kebijakan pemerintah yang pro renewable energy juga bisa mempercepat proses terbentuknya Green Energy Indonesia.

Kita sebagai pemuda juga perlu turun tangan menghadapi krisis energi di Indonesia. Dimulai dari hal kecil seperti menghemat energi listrik, mengikuti kegiatan yang bertemakan lingkungan seperti earth hour dan masih banyak lagi yang bisa dilakukan. Pemuda juga dituntut untuk bisa memberi inovasi bagi pengadaan energi di Indonesia. Contohnya seperti membuat kendaraaan ramah lingkungan yaitu mobil listrik karya Ricky Elson.

Sinergitas Pemuda – Pemerintah

Pada akhirnya, sinergitaslah yang dibutuhkan bagi kedua elemen penting tersebut. Sebuah keselarasan arah dan tujuan dari pemuda dan pemerintah untuk terus menggagas ide serta merealisasikan green energy demi terciptanya SDA dan bumi pertiwi yang bisa tersenyum seperti dulu. Di titik ini, kita harus menyadari bahwa pemuda adalah master of change: Semua diawali dari kita, kemudian bersinergi dengan pemerintah mewujudkan Indonesia yang ramah lingkungan dan Indonesia yang menjaga bumi seutuhnya untuk kehidupan yang lebih baik.

Indonesia Negeriku: Kenapa Tak Duduk di Singasanamu?

Indonesia, sebuah negara yang diciptakan Tuhan dengan tersenyum. Sebuah negara yang memiliki Sumber Daya Alam melimpah tersebar dari Sabang sampai Merauke, Timor sampai Talaud. Negara besar yang tersusun atas puluhan ribu pulau, ratusan suku, ras, dan bermacam-macam bahasa. Negara yang diciptakan untuk menyelamatkan dunia dari semakin langkanya Sumber Daya Alam.

Sebuah anugerah besar bagi Indonesia memiliki Sumber Daya Alam berlimpah. Indonesia memiliki hak sepenuhnya untuk mengolah dan mengembangkan Sumber Daya Alam yang sangat berlimpah ini. Dan Indonesia akan menjadi negara yang nyaris sempurna jika Sumber Daya Alam dengan Sumber Daya Manusia memiliki keadaan yang sama-sama baik dan saling menyempurnakan satu sama lain.

Namun sayangnya tidak seperti yang diharapkan. Saat semua yang kita harapkan tentang Sumber Daya Alam terwujud, tidak seperti yang kita harapkan terhadap Sumber Daya Manusia, mereka masih terpuruk. Dan itu salah satu penyebab kenapa kita masih belum bisa menduduki singasana kita sendiri sekarang.

Namun sebenarnya kita pernah beberapa tahun menempati kursi ‘kerajaan’ kita sendiri, yaitu pada masa pemerintahan soekarno-soeharto. Indonesia saat itu mulai mengepakkan sayap di berbagai bidang: Industri, Teknologi, Transportasi dan lain-lain. Namun seiring berjalannya waktu, berganti pula orang-orang yang menduduki jabatan di Pemerintahan. Dan pada satu waktu, beberapa orang yang di percayai untuk menjadikan Indonesia lebih baik lagi malah dengan perlahan melumpuhkan Indonesia, dari satu per satu bidang yang sebenarnya Indonesia kuasai: Mereka menjual harta Indonesia untuk diolah oleh asing.

Sekarang semua terus beregenerasi, semua orang datang dan pergi di kursi ‘kepercayaan’ namun semua hampir sama. Dengan pesimistis dan dengan embel-embel ‘Indonesia tidak akan bisa’ atau ‘mana mungkin kita bisa sendiri’ mereka satu per satu menandatangani kontrak dengan perusahaan-perusahaan asing untuk membantu Indonesia mengeruk sebanyak-banyaknya kekayaan Indonesia selama masa kontrak tersebut dengan prosentase keuntungan yang tak memihak kepada Indonesia sebagai penyedia modal. Dan kita? Hanya menjadi budak tenaga kerja di negara kita sendiri, diantara banyaknya Sumber Daya Alam di dalam tanah Indonesia kita sendiri.

Sebagai mahasiswa kita selayaknya membuka mata atas semua yang telah pemerintah lakukan terhadap Indonesia beberapa tahun silam yang barangkali tidak memikirkan Indonesia berpuluh-puluh tahun mendatang. Mahasiswa sekarang bukanlah generasi penerus dari mahasiswa-mahasiswa sebelumnya, melainkan generasi pengubah Indonesia untuk menjadi lebih baik dari Indonesia yang sebelumnya.

Sudahkah kita menjadi raja?

            Sebelum kita menjadikan Indonesia duduk di kursi ‘kerajaan’ sendiri, coba kita tanya pada diri sendiri, sudahkah kita menjadi raja bagi diri kita sendiri? Sudahkah kita menjadi penguasa atas apa yang ada pada diri kita, lingkungan kita sendiri? Kalau dipikir-pikir kita belum bisa menjadi penguasa diri kita sendiri. Kita masih diperbudak oleh bangsa asing dengan berbagai macam produk yang membanjiri pasar Indonesia.

            Mari kita lihat. Dari aksesoris kacamata yang kita pakai, brand luar negeri masih terus menjadi dambaan para pemburu kacamata di Indonesia. Selanjutnya, baju yang kita pakai terkadang merupakan produk impor dari negara tetangga Indonesia. Dan terakhir, celana dan sepatu. Tetap saja kita belum sepenuhnya menguasai tubuh kita sendiri secara untuh oleh balutan made in Indonesia. Kita masih membantu mempekerjakan orang lain di perusahaan asing. Bukan membantu mempekerjakan orang Indonesia di perusahaan Indonesia.

Sumber Daya Alam dan kontrak kerja

            Berbicara tentang Sumber Daya Alam Indonesia saat ini rasanya miris. Bayangkan saja, banyak sumber minyak di tanah Indonesia, tetapi bukan kita yang mengelola itu. Pertamina hanya menjadi bawahan dari perusahaan-perusahaan luar negeri macam Exxon, Total, Chevron dan lain-lain.

Sama halnya dengan pertambangan. Indonesia tidak mempunyai daya untuk menjadi pemimpin dalam perusahaan pengeruk tambang di Papua, PT. Freeport. Kita di sana hanya menjadi budak tenaga kerja yang merupakan bawahan dari perusahaan Amerika.

Lebih miris lagi jika kita mendengar adanya perpanjangan kontrak antara kedua belah pihak. Dan perusahaan asing tentunya tidak tanggung-tanggung membuat perpanjangan kontrak, 10 tahun, 30 tahun bahkan 50 tahun. Dalam jangka waktu tersebutlah kita hanya menjadi debu di antara banyak emas. Kita hanya akan menjadi kacung dari penguasa asing. Dan penyebab itu semua tidak lain karena Sumber daya Manusia yang masih berada di level rendah.

Sumber Daya Manusia di Indonesia

            Kenapa Sumber Daya Manusia di Indonesia setiap tahun tidak pernah menunjukkan pergerakkan yang signifikan? Tentu karena generasi muda Indonesia telah teracuni oleh budaya asing: Game online, game offline, hal-hal yang secara perlahan melumpuhkan para generasi muda Indonesia.

Dan masalah lain adalah mental. Indonesia dikenal sebagai negara dengan ketahanan mental yang rendah, tingkat optimisme yang masih di bawah rata-rata negara di dunia. Buktinya? Ada! Pemerintah mengamanatkan pengolahan emas dan tambang di Indoensia tidak kepada perusahaan yang ada di Indonesia sendiri, melainkan perusahaan asing.

Padahal bisa kita lihat sendiri lulusan sarjana teknik di bidang pertambangan dan permiyakan di Indonesia. Dari ITB, dari Unsri, dari UPN dan lain-lain. Tidak sedikit dari mereka yang melanjutkan studinya ke luar negeri, mencari ilmu untuk kemajuan Indonesia. Tapi, pesimisme pemerintah menggugurkan niatan mereka semua. Mereka malah menjadi budak tenaga kerja oleh asing di negara sendiri.

Gaji mereka besar? Tentu saja. Mereka hidup sejahtera bersama keluarga dan teman-teman mereka. Tapi Indonesia? Menangis! Mereka bahagia namun Indonesia hanya menatap kebahagiaan mereka dengan nanar. Pada akhirnya, tidak ada yang melebihi kebanggaan manusia yang bisa mensejahterakan umat manusia, khususnya negaranya sendiri.

Bisa kita bayangkan jika beberapa tahun lagi, Indonesia telah penuh sesak oleh perusahaan asing yang menjadi lintah di Indonesia. Beberapa tahun lagi, generasi di bawah kita akan mengubah cita-citanya menjadi insinyur di perusahaan luar negeri. Menyedihkan.

Mahasiswa sebagai generasi pengubah

            Masalah lain muncul saat mahasiswa-mahasiswa Indonesia terus menerus berpikir ‘bagaimana saya bisa bekerja di perusahaan itu’ dan pada akhirnya mereka terus menerus memikirkan bagaimana agar IPK/GPA mereka tinggi. Karena penilaian akademik merupakan syarat wajib untuk masuk dalam sebuah perusahaan selain penilaian bahasa inggrisnya.

            Mahasiswa telah terkurung dalam paradigma ‘bagaimana cara bekerja dan mendapat uang banyak’ bukan ‘bagaimana saya bekerja dan memperkerjakan orang banyak’ ataupun ‘bagaimana saya bisa membuat sesuatu untuk Indonesia sekaligus bekerja’. Sebuah alasan yang logis jika kedepan organisasi-organisasi kemahasiswaan akan sepi peminatnya.

Mahasiswa yang mampu mengubah Indonesia adalah mahasiswa yang selalu melakukan inisiatif-inisiatif dan tak selalu taat kepada sebuah pernyataan yang ada. Mahasiswa seperti itu bukan berarti mahasiswa pemberontak atau pembangkang. Coba saja pikirkan, apakah orang lain selalu benar dalam memberikan instruksi? Lalu bagaimana jika ada jalan yang lebih efektif dan efisien untuk melakukannya? Apakah kita hanya akan diam saja dengan alasan hemat tenaga? Atau sebenarnya kita malas untuk berbicara? Hey, kita ini mahasiswa!

Mahasiswa sebagai agen perubahan adalah mahasiswa yang selalu berpikir kritis untuk mendapat solusi dan tidak malu untuk mengungkapkan opini/pendapat walaupun opini mereka salah atau berbeda dari yang lain. Kita harus berani mengungkapkan pendapat kita secara lantang dan tegas. Kita harus berani mengkritik kemudian memberi saran terhadap apa-apa saja yang ada di sekitar kita. Bukan menjadi penonton setia bagi orang-orang yang bekerja.

            Kita sekarang adalah mahasiswa, bukan siswa. Kita sekarang punya jalan masing-masing untuk ditempuh. Apakah kita akan menempuh jalan yang lurus tanpa belokan, atau jalan yang berkelak-kelok. Itu pilihan kita.

Sebenarnya kita punya calon pemimpin bangsa yang tidak sedikit: mahasiswa yang cerdas, tidak malu mengeluarkan pendapat, berpikir kritis, tidak selalu menuruti keinginan atasan jika memang ada jalan yang lebih baik dari perintas atasan tersebut. Kita punya semua.

Sayangnya Indonesia masih saja terpuruk di mata dunia sekarang. Kenapa? Karena kita tidak bisa menunjukkan kepada dunia siapa kita. Kita masih kalah bersaing mental dan percaya diri dari negara-negara tetangga kita.

Lebih memilukan lagi adalah lulusan-lulusan mahasiswa cerdas yang diharapkan akan mengubah Indonesia lebih baik justru hengkang ke luar negeri. Mereka menjadi budak bagi bangsa asing dengan iming-iming gaji besar. Salahkah mereka? Tidak juga. Karena mereka punya hak untuk mengabdi pada siapa. Yang patut disalahkan justru diri kita sendiri yang tak bisa meyakinkan mereka bahwa Indonesia punya segalanya. Dan yang pantas disalahkan adalah perhatian pemerintah Indonesia di bidang riset dan teknologi yang sangat minim.

 

Mari berpikir hebat dan berpikir kedepan

Sadarkah kita? Satu bayi yang lahir di tanah Indonesia secara tidak langsung mempunyai hutang delapan juta rupiah kepada luar negeri. Dan parahnya setiap tahun hutang Indonesia ke luar negeri cenderung meningkat dan terus meningkat. Indonesia akan hancur dililit hutang jika tak ada generasi yang sanggup menghentikan lilitan hutang Indonesia beberapa tahun ke depan. Sungguh tragis.

Dan bisakah kita melihat? Setiap tahun semakin banyak lulusan-lulusan yang kompeten di bidangnya justru bekerja di perusahaan asing terus meningkat. Apalagi jika perusahaan asing tersebut terus menerus memperpanjang kontrak. Bisa jadi Indonesia bukanlah Indonesia. Seluruh rakyat Indonesia bahkan bisa menjadi budak tenaga kerja oleh asing. Indonesia bisa menjadi himpunan tenaga kerja perusahaan-perusahaan asing.

Kita mempunyai tugas besar sekarang. Sebagai mahasiswa, kita mempunyai tanggung jawab mengubah angka delapan juta tersebut menjadi nol rupiah per bayi yang lahir di Indonesia. Tugas yang berat memang. Tapi kita pasti bisa karena kita punya semuanya. Kita punya Sumber Daya Alam yang melimpah. Kita punya lulusan yang handal di bidangnya. Tinggal kita perbaiki mental kita. Kita tanamkan rasa percaya diri pada masing-masing diri. Kita pasti bisa untuk mengubah Indonesia menjadi lebih baik kedepannya, karena ktia generasi pengubah Indonesia!

Siapkan dirimu, Mahasiswa!

Seharusnya kita sudah menyadari bahwa dunialah yang butuh Indonesia, bukan Indonesia yang butuh dunia. Karena semua sudah lengkap ada di Indonesia: Cadangan energi yang tak habis dalam waktu singkat. Tengok saja hutan yang ada di Kalimantan. Tapi lagi-lagi perusahaan asing mengambil alih hutan itu dengan alibi akan menghasilkan keuntungan besar. Omong kosong! Tidak semua yang ada di dunia dihargai dengan uang, uang dan uang. Kadang sesuatu dianggap berharga karena sesuatu tersebut ada dan dipelihara serta di kembangkan, bukan untuk terus di eksploitasi tanpa memikirkan akibat yang lebih parah di masa mendatang.

Sebuah anggukan kepala untuk menyetujui akan adanya pelatihan mental di Indonesia. Sebuah anggukan untuk mengubah pola pikir kita menjadi pola pikir orang-orang sukses. Sebuah anggukan kepala untuk berjanji pada diri sendiri dan Indonesia bahwa mulai saat ini, kami, para pengubah bangsa Indonesia agar menjadi bangsa yang lebih baik akan berjuang penuh semangat, berkorban apapun demi negeri kami tercinta, Indonesia.

Siapkan pundakmu para pengubah bangsa! Karena sebentar lagi Indonesia butuh kita. Beberapa tahun lagi kita yang akan menggantikan mereka duduk di kursi ‘kepercayaan’ itu. Dan jangan sampai kita berbuat sama seperti pendahulu kita. Jangan sampai kita memperburuk keadaan dengan alasan untuk kesejahteraan sesaat. Dan saya yakin mahasiswa yang aktif dan selalu bersemangat untuk terus menerus berada pada passion mereka akan mengantarkan Indonesia menjadi satu negara yang dipertimbangkan di mata dunia.

Dan terakhir, hentikan ekploitasi bumi Indonesia oleh bangsa Asing. Hentikan tenaga kerja Indonesia yang hanya sebagai budak tenaga kerja asing. karena Indonesia not for sale!